Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi,
termasuk bangsa Indonesia,
menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup memecahkan
problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan paling
strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis tersebut adalah gerakan
kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh
berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa
mendatang.
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis, dan
mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an
dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang
terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari
sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia
modern.
Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an
terhadap perkembangan rasio untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui
ilmu pengetahuan manusia merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di
dalam kitab-kitab suci agama lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat
manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia
dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan
ilmu dan teknologi yang canggih.
Pandangan objektif dari salah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis,
Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai Bibel
dan Alquran serta sains modern sungguh mengejutkan umat Islam sendiri yang
setiap hari memegang dan membaca kitab suci Alquran. Pendapat beliau
berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif dan akademik
terhadap kebenaran Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual dan materiil,
menunjukkan bahwa “Alquran diwahyukan sesudah kitab suci sebelumnya, buka saja
bebas dari kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya. Kontradiksi yang menjadi ciri
Injil karena disusun oleh manusia tetapi juga menyajikan kepada orang yang
mempelajarinya secara objektif dengan mengambil petunjuk dari sains madern,
suatu sifat yang khusus yakni persesuaian yang sempurna dengan hasil sains
modern. Lebih dari itu semua sebagaimana telah kita buktikan, Alquran
mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern yang tidak masuk akal, jika
dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu Alquran itu diwahyukan adalah
pencetus-pensetusnya. Dengan begitu, maka pengetahuan ilmiah modern
memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu dalam Alquran yang sampai
sekarang tidak dapat di tafsirkan.
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of
technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model
yang mampu mendobrak pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang
dinamis, dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak
mengekang atau membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu
pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam
segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi
permasalahan adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan
konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational
engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam
perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan terus-menerus
untuk membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai yang bersendikan
iman dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan iptek dengan
iman, Islam, dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan hidup manusia
buka sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada
awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh
kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang
bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan
pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi
terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi
oerientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat
manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam, yaitu pada zaman
Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam
benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu
kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam
pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadpa
pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling
dalam proses mencapai baldatun
thoyibatun wa rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang mendasari kehidupan psikologis manusia, yaitu iman
tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil
mendorong dan di pacu untuk berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang
melahirkan sikap hidup fastabiqul
khairat.
Menurut al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam
jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Ia memandang bahwa sistem
perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan
kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang
memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir
edukatif dengan pengalaman empiris manusia.
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan
al-Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan
dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakat serta untuk menerima wahyu
Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikiran itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan
belajarnya. Ibnu
Sina yang berpandangan idealistis
dalam pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam
operasionalisasi kependidikan ia berpaham empiris.
Lebih lanjut Muhammad
Abduh lebih mengedepankan
kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran Islam melalui pendidikan. Ia
memandang bahwa peranan sistem pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi
kehidupan umat Islam. Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama.
Pendidikan agama diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama. Pendidikan
dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau
perubahan.
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi diintegrasikan menjadi satu ilmu
pengetahuan yang bulat, karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari
Tuhan.
“ dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi
yang Maha mengetahui”. (QS. Yusuf: 76)
“ Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al-Alaq: 5)
Umat Islam harus mengubah sikap
pandangannya yang lama, yaitu dari
pandangan terhadap lembaga pendidikan Islam hanya sebagai gudang ilmu atau
transfer dan transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang
alamiah dan ilmiah yang mengacu
kepada tuntutan masyarakat yang thoyibah
warabbun ghafur dapat terwujud.
Oleh karena itu, berbagai model
pendidikan Islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban
yang tepat guna.
Model-model pendidikan yang terbukti
tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut.
- Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
- Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
- Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
- Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
- Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrah.
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah
Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah
sebagai berikut.
- Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
- Etimologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi shibghah manusia muslim sejati berderajat mulia.
- Pedagogis, manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
- Content: lebih di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
- Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
- Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.