A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis kata tasawuf berasal dari “ Shuffah artinya serambi
masjid Nabawi yang di diami oleh sebagian sahabat ” ; “ Shaf artinya barisan “
; “ shafa artinya jernih/bersih”.
- Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’ifat
Dalam konsep agama Islam terdapat iman, Islam, dan ihsan yang
ketiga-tiganya secara ideal merupakan satu kesatuan yang tidak boleh
dipisah-pisahkan dalam rangka ke-islam-an seseorang. Atau dengan kata lain,
islam sebagai suatu system ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, telah
memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan yang eksoterik (lahiri)
maupun esoteric (batini) secara sekaligus.
Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari dua aspek penghayatan itu
akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) dalam islam. Namun, dalam prakteknya masih
banyak kaum muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengarah kepada yang
lahiri, atau disebut Ahl al-Dhawahir, dan banyak pla yang lebih mengarah kepada
yang bathini yang disebut Ahl al-Bawatin.
Kaum Syari’ah adalah mereka yang lebih menitik
beratkan perhatian kepada segi-segi legal formal. Sementara kaum sufi adalah
mereka yang banyak berkecimpung didalam amalan-amalan batin islam. Dalam
sejarah pemikiran islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan ini,
sempat teradi ketegangan dan polemic, dengan sikap-sikap saling menuduh bahwa
lawannya adalah penyeleweng dari agama dan sesat, atau penghayatan keagamaan
mereka tidak sempurna. Dari banyak usaha merekonsiliasi antara keduany
kecenderungan itu, yang dilakukan oleh Al Ghazali
adalah yang paling besar dan paling berhasil.
Islam sebagai agama yang sangat menekanka keseimbangan, sebagaimana
disinggung diatas, memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’ah (hokum
Tuhan) dan tasawuf (thariqat atau jalan spiritual). Pentingnya menjaga kesatuan
syari’ah dan thariqah ituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di ala mini,
termasuk manusia, mempunyai aspek lahiriah dan aspek batiniah.
Landasan metafisis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriyah
dan aspek batiniyah dengan keharuan menyatukan syari’ah dan thariqah adalah
teori sufisme yang menyatakan bahwa alam dan seluruh isinya ini adalah
“penampakan dari” Tuhan. Tuhan mengatakan bahwa “Dia adalah yang Awal dan yang Akhir,
yang Lahir dan yang Batin” karena Tuhan adalah yang Lahir dan Yang Batin, maka
segala sesuatu yang ada di ala mini adalah penampakan dari tuhan dan memiliki
aspek lahiriyah dan batiniyah. Aspek lahiriyah mempunyai aspek menjauh dan
memisah dari Tuhan sebagai sumbernya. Mengabaikan salah satu dari aspek ini
adalah mengingkari kodrat manusia, yang secara hakiki selalu cenderung untuk
tidak hanya memenuhi kebutuhan lahiriyah saja, tetapi juga harus yang batiniyah
pula.
Namun demikian, tujuan akhir hidup manusia adalah ukembali kepada Tuhan. Firman Tuhan
sebagaimana yang dikutip di atas menegaskan bahwa Dia adalah sumber segala
sesuatu dan tempat kembali. “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan
kepada-Nya kita akan kembali”. Perjalanan yang harus ditempuh oleh manusia
adalah perjalanan dari yang lahir menuju yang batin, dari pinggir lingkaran
aksistensi ke pusat yang Transeden. Perjalanan ini akan sampai pada tujuannya
dengan se;amat bila dilakukan memadukan kedua jalan : syari’ah dan thariqah.
Perjalanan melalui syari’ah dan thariqah akan membawa manusia kepada tujuannya
: haqiqah.
Tiga dimensi agama islam, yaitu syari’ah, thariqah dan haqiqah, dari
suatu sudut pandangan, linier dengan tiga dimensi keagamaan yang lain,
sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu iman, islam dan ihsan. Sebutan Al
Qur’an untuk fenomena yang oleh generasi-generasi muslim belakangan ini disebut
“sufisme” adalah ihsan, suatu kualitas Illahi dan insani yang banyak sekali
diungkapkan oleh Al Qur’an, yang secara khusus menuturkan bahwa Allah mencintai
orang-orang yang mempunyai kualitas seperti itu. Dalam suatu hadist yang sangat
terkenal, Nabi mendiskripikan ihsan sebagai dimensi terdalam setelah al islam
dan al iman.
Hasil dari ketiga rangkaian tersebut ialah ma’rifat kepada Allah, yaitu
suatu keadaan yang mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hatinurani dapat melihat-Nya.
Seorang yang arif akan melihat Tuhan dalam kondisi tertentu, dalam keadaan
tidur atau bangun. Menurut Harun N sekiranya ma’rifat mengambil bentuk materi,
semua orang yang melihatnya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan
yang gilang-gemilang.
Dzun Nun al-Mishri, sebagaimana yang dikutip oleh Harun N
mengklasifikasikan tiga macam pengetahuan yang diperoleh manusia : 1.
pengetahuan awam, yaitu mengetahui Tuhan itu satu dengan perantaraan syahadat,
2. pengetahuan ulama, yaitu mengetahui Tuhan itu satu menurut logika akal, 3.
pengetahuan sufi, yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hatinurani. Menurut
Harun N hanya pengetahuan ketigalah yang disebut ma’rifat, yaitu pengetahuan
yang diperoleh seorang sufi dengan sir, yaitu sesuatu yang terdalam yang berada
di bawah qaib dan ruh, setelah Nur
Tuhan memancar ke dalamnya. Al Ghazali
menyatakan, sebagaimana dikemukakan oleh Harun, ma’rifat adalah pengetahuan dan
ilmu tentang rahasia ketuhanan yang meliputi segala yang ada.
Oleh karena itulah Dzun Nun menyatakan bahwa dia mengenal Tuhan dengan
Tuhan, andaikata tanpa Tuhan, pasti tia
tidak mengenal-Nya. Dari sini nampaknya Dzun lebih sependapat bahwa ma’rifat
itu adalah termasuk salah satu ahwal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syari’at hanyalah berisi
peraturan, thariqah merupakan perbuatan untuk melaksanakan syari’at itu. Apabila
syari’at dan thariqah itu dapat dikuasai, maka lahirlah haqiqah yang tidak lain
daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuannya ialah ma’rifat, yaitu
mengenal Tuhan dan mencintai-Nya. Nabi berkata : “Syari’at
itu perkataanku, thariqah itu perbuatanku, dan haqiqah adalah kelakuanku”.