Halaman

murniart.blogspot.com meleyani berbagai kerajinan krey dengan bahan baku bambu, kayu dan rotan Juga melayani karpet dan lain sebagainya segera hubungi murni art shop

MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM


Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi, termasuk bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis tersebut adalah gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa mendatang.
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis, dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern.
Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an terhadap perkembangan rasio untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci agama lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih.
Pandangan objektif dari salah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis, Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai Bibel dan Alquran serta sains modern sungguh mengejutkan umat Islam sendiri yang setiap hari memegang dan membaca kitab suci Alquran. Pendapat beliau berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif dan akademik terhadap kebenaran Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual dan materiil, menunjukkan bahwa “Alquran diwahyukan sesudah kitab suci sebelumnya, buka saja bebas dari kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya. Kontradiksi yang menjadi ciri Injil karena disusun oleh manusia tetapi juga menyajikan kepada orang yang mempelajarinya secara objektif dengan mengambil petunjuk dari sains madern, suatu sifat yang khusus yakni persesuaian yang sempurna dengan hasil sains modern. Lebih dari itu semua sebagaimana telah kita buktikan, Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern yang tidak masuk akal, jika dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu Alquran itu diwahyukan adalah pencetus-pensetusnya. Dengan begitu, maka pengetahuan ilmiah modern memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu dalam Alquran yang sampai sekarang tidak dapat di tafsirkan.
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model yang mampu mendobrak pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak mengekang atau membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan terus-menerus untuk membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai yang bersendikan iman dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan iptek dengan iman, Islam, dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan hidup manusia buka sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi oerientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam, yaitu pada zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadpa pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling dalam proses mencapai  baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang mendasari kehidupan psikologis manusia, yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil mendorong dan di pacu untuk berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup  fastabiqul khairat.
Menurut al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Ia memandang bahwa sistem perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir edukatif dengan pengalaman empiris manusia.
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al-Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakat serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikiran itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya. Ibnu Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi kependidikan ia berpaham empiris.
Lebih lanjut Muhammad Abduh lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran Islam melalui pendidikan. Ia memandang bahwa peranan sistem pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi kehidupan umat Islam. Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama. Pendidikan agama diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama. Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau perubahan.
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi diintegrasikan menjadi satu ilmu pengetahuan yang bulat, karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari Tuhan.
   
“ dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui”. (QS. Yusuf: 76)
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al-Alaq: 5)

            Umat Islam harus mengubah sikap pandangannya  yang lama, yaitu dari pandangan terhadap lembaga pendidikan Islam hanya sebagai gudang ilmu atau transfer dan transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang alamiah dan ilmiah  yang mengacu kepada tuntutan masyarakat yang  thoyibah warabbun ghafur dapat terwujud.
            Oleh karena itu, berbagai model pendidikan Islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban yang tepat guna.
            Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut.
  1. Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif dan asketis harus  dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
  2. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
  3. Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
  4. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
  5. Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrah.
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut.
  1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
  2. Etimologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi shibghah  manusia muslim sejati berderajat mulia.
  3. Pedagogis, manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
  1. Content: lebih di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
  2. Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
  3. Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.
Jadi, corak belajar demikian adalah bersifat inovatif bukan belajar melestarikan apa yang ada, konservatif dan pasif serta dogmatis.